Ini bukan pasukan bunuh dirinya
Presiden Irak Saddam Hussein yang dulu digempur habis-habisan oleh tentara
Sekutu pimpinan As dalam Perang Teluk jilid kedua. Namun, ini sel-sel sehat
yang mati tanpa sebab yang jelas. Setiap hari ada saja sel dalam tubuh yang
tewas bunuh diri. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 70 miliar sel per hari.
Peristiwa yang dinamai apoptosis ini diamati
untuk pertama kalinya oleh Andrew Wyllie pada tahun 1970-an. Apoptosis yang
berasal dari bahasa Yunani dan berarti rontok itu memang mirip peristiwa daun
yang berguguran dari pohonnya.
Pertanyaannya kemudian, jika miliaran sel
tubuh pada mati setiap hari, mengapa kita kok tidak ikut mati? Pertanyaan lain
yang tidak kalah menarik, kenapa pula sel-sel tubuh kita melakukan tindakan
bunuh diri, dan apakah peristiwa itu bisa dicegah?
Cell of Suicide |
Kematian Terprogram
Fenomena bunuh diri sel itu sebenarnya
sudah dimulai sejak awal masa embrio, tetapi kemudian terus berlanjut di
sepanjang usia kita. Kematian atau bunuh diri miliaran sel yang terjadi bukan
dalam fase perkembangan embrio itu seolah-olah merupakan kematian sia-sia. Jika
peristiwa itu terjadi dalam fase perkembangan embrio, mungkin masih bisa
dipahami. Sebab, dalam fase ini terjadi “pemahatan” bagian-bagian tubuh. Dalam
kegiatan “pemahatan”, bagian-bagian yang tidak diperlukan harus mati dan
dilepaskan.
Ambil contoh, bagian tangan. Ketika
baru saja terbentuk, calon tangan itu terlihat hanya seperti sekop. Untuk
membentuk jari-jari tangan, maka harus ada sel-sel pada jaringan di antara
jari-jemari itu yang mati dan dilepaskan.
Analoginya, kecebong yang memiliki
ekor akan mengalami kematian sel pada bagian ekornya sehingga ia dapat tumbuh
menjadi katak tanpa ekor. Dr. John Yeh, pakar endokrinologi reproduktif dari
Universitas Buffalo, Amerika Serikat, mengatakan, “Apoptosis semacam itu
memungkinkan organ tubuh membentuk model dirinya dan mengaturnya kembali.”
Namun, pada peristiwa di luar fase
perkembangan embrio terdapat peristiwa kematian sel yang belum jelas tujuannya.
Meskipun demikian, sebagian pakar menyatakan, peristiwa itu mungkin sangat
penting dalam menjaga keseimbangan populasi sel pada tubuh orang sehat. Kematian
sel, yang kemudian diganti oleh sel baru, dapat pula dikatakan sebagai
peremajaan sel yang membuat kita tetap hidup sehat dan bugar. Akan tetapi,
sampai pada usia tertentu kemampuan pergantian sel itu akan menurun. Lalu,
terjadilah apa yang kemudian dikatakan sebagai permasalahan lanjut usia
(geriatrik).
Dalam fenomena sel-sel melakukan bunuh
diri ini – meskipun sel-sel berada dalam keadaan benar-benar sehat – mereka
mengaktifkan suatu program kematian dalam dirinya sendiri. Proses ini dinamai
oleh para pakar sebagai kematian sel terprogram. Sifat program kematian itu
tetap saja masih misterius, sekalipun sudah semakin banyak pakar biologi yang
mencoba membuka tabirnya.
Prof. Raff, ketua tim riset pada MRC
Laboratory for Molecular Cell Biology University College London, menduga, semua
sel tubuh sesungguhnya diprogram untuk membunuh dirinya sendiri secara
otomatis, kecuali jika ada sel-sel lain yang melarangnya. Agar sebuah sel tetap
hidup, ia harus berkomunikasi terus-menerus dengan sel-sel lain. Mekanisme yang
sederhana ini menunjukkan, sebuah sel hanya bisa hidup di tempat yang
memerlukannya dan selama ia diperlukan. Apabila suatu sel tidak mendapatkan
sinyal yang melarangnya untuk bunuh diri, sel itu akan membunuh dirinya
sendiri.
Beda Suasana
Untuk menguak misteri ini sebuah tim
riset dari University College London melakukan penelitian terhadap sel otak
yang bekerja seperi isolator. Sel yang dinamakan oligodendrosit ini membungkus
sel saraf seperti cellotape mengisolasi
kawat listrik. Kalau oligodendrosit dipisahkan dari serabut saraf mata dan
kemudian diinkubasikan dalam media perbenihan yang mengadung semua unsur gizi
yang dibutuhkan bagi kehidupannya, sel itu akan mati dalam waktu satu atau dua
hari. Kematian itu memperlihatkan ciri-ciri kematian sel yang terprogram.
Jika bersama oligodendrosit juga
diinkubasikan sel-sel lain dari saraf mata, oligodendrosit itu tetap bertahan
hidup. Sel ini dapat hidup dalam media perbenihan jika ke dalam media juga
ditambahkan molekul protein pemberi sinyal yang khas. Asal tahu saja, molekul
ini dihasilkan oleh sel-sel saraf mata normal untuk melarang sel pembungkusnya
bunuh diri.
Mengomentari percobaan di atas, banyak
pakar beranggapan, oligodendrosit bunuh diri karena mengalami cedera ketika
dipisahkan dari sel serabut saraf. Penyebab lainnya, mungkin suasana media
perbenihan tidak sama dengan suasana tempat asal sel tersebut hidup. Jika
oligodendrosit hidup normal di sekitar sel saraf, mungkin sel pembungkus ini
tidak memerlukan sinyal yang melarangnya bunuh diri.
Untuk menjawab keraguan tadi, tim
riset melakukan penelitian lagi terhadap oligodendrosit yang hidup normal
berdampingan dengan sel saraf mata di dalam jaringan sehat. Penelitian itu
ternyata menunjukkan hasil menakjubkan! Sekitar separuh oligodendrosit yang
diproduksi setiap harinya dalam proses perkembangan normal, juga mengalami
kematian. Meskipun para pakar sudah mengakui bahwa separuh atau lebih sel-sel
saraf yang dihasilkan dalam otak akan mati selama proses perkembangan yang
normal, kenyataannya oligodendrosit tetap saja melakukan bunuh diri massal.
Mirip pengikut aliran sesat David Coresh, tetapi bukan.
Mencegah Kanker
Prof. Raff dan kawan-kawannya kemudian
meneliti tipe-tipe sel lainnya. Ternyata, setiap tipe sel yang diteliti
memerlukan sinyal dari sel-sel lain untuk mencegahnya bunuh diri. Satu-satunya
pengecualian yang ditemukan adalah pada sel telur yang sudah dibuahi. Sel yang
disebut blastomer ini ternyata dapat hidup dan membelah diri tanpa adanya
sinyal dari sel-sel lain.
Ketiadaan sinyal yang melarang sebuah
sel untuk bunuh diri bukan merupakan satu-satunya cara untuk memicu kematian
terprogram dalam sel. Sejumlah obat ternyata dapat memicu program kematian itu.
Salah satunya, staurosporin.
Loss of Normal Growth Control |
Obat ini dapat memicu program kematian
pada semua tipe sel. Jika sebelumnya sudah mendapat obat yang menghambat
kemampuan untuk membuat protein baru, sel akan lebih mudah mati bila
mendapatkan staurosporin. Penemuan ini memperlihatkan bukan saja semua sel
tubuh kita sudah memiliki program bunuh diri yang built-in, melainkan juga dapat menghasilkan semua protein yang
diperlukan untuk melaksanakan bunuh diri itu.
Pertanyaan yang muncul sekarang,
apakah fenomena bunuh diri itu bermanfaat buat tubuh kita? Lantas, apa pula
manfaatnya, kalau ada?
Fenomena ini sebenarnya menunjukkan,
sel yang tumbuh pada tempat yang bukan semestinya tidak akan mendapatkan sinyal
yang melarangnya bunuh diri. Dengan demikian, sel itu akan membunuh dirinya
sendiri. Keseimbangan antara produksi sel baru dan kematian sel lama pun akan
dapat dipertahankan.
Tubuh kita memang bukan sesuatu yang
bersifat statis. Secara dinamis sel-sel tubuh kita akan terus berganti; sel-sel
lama akan digantikan oleh yang baru. Akan tetapi, pergantian ini harus terus
memperhatikan keseimbangan jumlah sel dalam suatu jaringan atau organ tubuh.
Jika keseimbangan itu terganggu, misalnya jika jumlah sel yang terbentuk tidak
dibatasi oleh fenomena bunuh diri, mungkin saja pada organ tubuh itu akan
terbentuk jaringan kanker.
=================================================================
Jadi, kita patut bersyukur. Fenomena
bunuh diri sel tetap memiliki tujuan angat penting bagi kelangsungan hidup
kita. Tentu semua ini karena memang sudah diatur oleh Sang Mahapencipta di atas
sana!
Follow twitter @ardas__bgenk or Facebook : Hardiansyah GS
email : drh.hardiansyah@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar