Jumat, 28 Desember 2012

Mister SEL BUNUH DIRI ( KisaH PositiF )


Ini bukan pasukan bunuh dirinya Presiden Irak Saddam Hussein yang dulu digempur habis-habisan oleh tentara Sekutu pimpinan As dalam Perang Teluk jilid kedua. Namun, ini sel-sel sehat yang mati tanpa sebab yang jelas. Setiap hari ada saja sel dalam tubuh yang tewas bunuh diri. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 70 miliar sel per hari.

Peristiwa yang dinamai apoptosis ini diamati untuk pertama kalinya oleh Andrew Wyllie pada tahun 1970-an. Apoptosis yang berasal dari bahasa Yunani dan berarti rontok itu memang mirip peristiwa daun yang berguguran dari pohonnya.

Pertanyaannya kemudian, jika miliaran sel tubuh pada mati setiap hari, mengapa kita kok tidak ikut mati? Pertanyaan lain yang tidak kalah menarik, kenapa pula sel-sel tubuh kita melakukan tindakan bunuh diri, dan apakah peristiwa itu bisa dicegah?
Cell of Suicide

Kematian Terprogram
Fenomena bunuh diri sel itu sebenarnya sudah dimulai sejak awal masa embrio, tetapi kemudian terus berlanjut di sepanjang usia kita. Kematian atau bunuh diri miliaran sel yang terjadi bukan dalam fase perkembangan embrio itu seolah-olah merupakan kematian sia-sia. Jika peristiwa itu terjadi dalam fase perkembangan embrio, mungkin masih bisa dipahami. Sebab, dalam fase ini terjadi “pemahatan” bagian-bagian tubuh. Dalam kegiatan “pemahatan”, bagian-bagian yang tidak diperlukan harus mati dan dilepaskan.

Ambil contoh, bagian tangan. Ketika baru saja terbentuk, calon tangan itu terlihat hanya seperti sekop. Untuk membentuk jari-jari tangan, maka harus ada sel-sel pada jaringan di antara jari-jemari itu yang mati dan dilepaskan.

Analoginya, kecebong yang memiliki ekor akan mengalami kematian sel pada bagian ekornya sehingga ia dapat tumbuh menjadi katak tanpa ekor. Dr. John Yeh, pakar endokrinologi reproduktif dari Universitas Buffalo, Amerika Serikat, mengatakan, “Apoptosis semacam itu memungkinkan organ tubuh membentuk model dirinya dan mengaturnya kembali.”

Namun, pada peristiwa di luar fase perkembangan embrio terdapat peristiwa kematian sel yang belum jelas tujuannya. Meskipun demikian, sebagian pakar menyatakan, peristiwa itu mungkin sangat penting dalam menjaga keseimbangan populasi sel pada tubuh orang sehat. Kematian sel, yang kemudian diganti oleh sel baru, dapat pula dikatakan sebagai peremajaan sel yang membuat kita tetap hidup sehat dan bugar. Akan tetapi, sampai pada usia tertentu kemampuan pergantian sel itu akan menurun. Lalu, terjadilah apa yang kemudian dikatakan sebagai permasalahan lanjut usia (geriatrik).
Dalam fenomena sel-sel melakukan bunuh diri ini – meskipun sel-sel berada dalam keadaan benar-benar sehat – mereka mengaktifkan suatu program kematian dalam dirinya sendiri. Proses ini dinamai oleh para pakar sebagai kematian sel terprogram. Sifat program kematian itu tetap saja masih misterius, sekalipun sudah semakin banyak pakar biologi yang mencoba membuka tabirnya.

Prof. Raff, ketua tim riset pada MRC Laboratory for Molecular Cell Biology University College London, menduga, semua sel tubuh sesungguhnya diprogram untuk membunuh dirinya sendiri secara otomatis, kecuali jika ada sel-sel lain yang melarangnya. Agar sebuah sel tetap hidup, ia harus berkomunikasi terus-menerus dengan sel-sel lain. Mekanisme yang sederhana ini menunjukkan, sebuah sel hanya bisa hidup di tempat yang memerlukannya dan selama ia diperlukan. Apabila suatu sel tidak mendapatkan sinyal yang melarangnya untuk bunuh diri, sel itu akan membunuh dirinya sendiri.

Beda Suasana
Untuk menguak misteri ini sebuah tim riset dari University College London melakukan penelitian terhadap sel otak yang bekerja seperi isolator. Sel yang dinamakan oligodendrosit ini membungkus sel saraf seperti cellotape mengisolasi kawat listrik. Kalau oligodendrosit dipisahkan dari serabut saraf mata dan kemudian diinkubasikan dalam media perbenihan yang mengadung semua unsur gizi yang dibutuhkan bagi kehidupannya, sel itu akan mati dalam waktu satu atau dua hari. Kematian itu memperlihatkan ciri-ciri kematian sel yang terprogram.

Jika bersama oligodendrosit juga diinkubasikan sel-sel lain dari saraf mata, oligodendrosit itu tetap bertahan hidup. Sel ini dapat hidup dalam media perbenihan jika ke dalam media juga ditambahkan molekul protein pemberi sinyal yang khas. Asal tahu saja, molekul ini dihasilkan oleh sel-sel saraf mata normal untuk melarang sel pembungkusnya bunuh diri.

Mengomentari percobaan di atas, banyak pakar beranggapan, oligodendrosit bunuh diri karena mengalami cedera ketika dipisahkan dari sel serabut saraf. Penyebab lainnya, mungkin suasana media perbenihan tidak sama dengan suasana tempat asal sel tersebut hidup. Jika oligodendrosit hidup normal di sekitar sel saraf, mungkin sel pembungkus ini tidak memerlukan sinyal yang melarangnya bunuh diri.

Untuk menjawab keraguan tadi, tim riset melakukan penelitian lagi terhadap oligodendrosit yang hidup normal berdampingan dengan sel saraf mata di dalam jaringan sehat. Penelitian itu ternyata menunjukkan hasil menakjubkan! Sekitar separuh oligodendrosit yang diproduksi setiap harinya dalam proses perkembangan normal, juga mengalami kematian. Meskipun para pakar sudah mengakui bahwa separuh atau lebih sel-sel saraf yang dihasilkan dalam otak akan mati selama proses perkembangan yang normal, kenyataannya oligodendrosit tetap saja melakukan bunuh diri massal. Mirip pengikut aliran sesat David Coresh, tetapi bukan.

Mencegah Kanker
Prof. Raff dan kawan-kawannya kemudian meneliti tipe-tipe sel lainnya. Ternyata, setiap tipe sel yang diteliti memerlukan sinyal dari sel-sel lain untuk mencegahnya bunuh diri. Satu-satunya pengecualian yang ditemukan adalah pada sel telur yang sudah dibuahi. Sel yang disebut blastomer ini ternyata dapat hidup dan membelah diri tanpa adanya sinyal dari sel-sel lain.

Ketiadaan sinyal yang melarang sebuah sel untuk bunuh diri bukan merupakan satu-satunya cara untuk memicu kematian terprogram dalam sel. Sejumlah obat ternyata dapat memicu program kematian itu. Salah satunya, staurosporin.

Loss of Normal Growth Control
Obat ini dapat memicu program kematian pada semua tipe sel. Jika sebelumnya sudah mendapat obat yang menghambat kemampuan untuk membuat protein baru, sel akan lebih mudah mati bila mendapatkan staurosporin. Penemuan ini memperlihatkan bukan saja semua sel tubuh kita sudah memiliki program bunuh diri yang built-in, melainkan juga dapat menghasilkan semua protein yang diperlukan untuk melaksanakan bunuh diri itu.

Pertanyaan yang muncul sekarang, apakah fenomena bunuh diri itu bermanfaat buat tubuh kita? Lantas, apa pula manfaatnya, kalau ada?

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan, sel yang tumbuh pada tempat yang bukan semestinya tidak akan mendapatkan sinyal yang melarangnya bunuh diri. Dengan demikian, sel itu akan membunuh dirinya sendiri. Keseimbangan antara produksi sel baru dan kematian sel lama pun akan dapat dipertahankan.

Tubuh kita memang bukan sesuatu yang bersifat statis. Secara dinamis sel-sel tubuh kita akan terus berganti; sel-sel lama akan digantikan oleh yang baru. Akan tetapi, pergantian ini harus terus memperhatikan keseimbangan jumlah sel dalam suatu jaringan atau organ tubuh. Jika keseimbangan itu terganggu, misalnya jika jumlah sel yang terbentuk tidak dibatasi oleh fenomena bunuh diri, mungkin saja pada organ tubuh itu akan terbentuk jaringan kanker.
=================================================================

Jadi, kita patut bersyukur. Fenomena bunuh diri sel tetap memiliki tujuan angat penting bagi kelangsungan hidup kita. Tentu semua ini karena memang sudah diatur oleh Sang Mahapencipta di atas sana!
Follow twitter @ardas__bgenk or Facebook : Hardiansyah GS
email : drh.hardiansyah@gmail.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar