Ukhuwah Islamiyah |
Mungkin
terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan
sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang.
Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : “Cintailah saudaramu
secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci.
Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan
menjadi kekasih yang kau cintai.” (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni,
Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan,
jangan ada reserve kecuali reserve syar’i yang menggariskan aqidah “La tha’ata
limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq”. Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq
dalam berma’siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin
ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam
senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : “Level terendah
ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang
hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar
(memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).
Bagi
kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati
setiap ikhwah : “Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam
yakunu bihi fasayakununa bighoirihi” (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan
bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain
dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan
aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman
sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta’lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah
Karena
bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka “kerugian
apapun” yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da’wah, yang ditimbulkan
oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan
beramal jama’i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. “Dan jika kamu
berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan
jadi seperti kamu” (Qs. 47: 38).
Masing-masing
kita punya pengalaman pribadi dalam da’wah ini. Ada yang sejak 20 tahun
terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan
yang berbenturan dengan jadwal da’wah atau oleh urusan yang merugikan da’wah.
Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan
kepentingan da’-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran
nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada
seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika
menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar
hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi
pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah
petak sederhana. “Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di
wajah pengantinku tercinta”, tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami
tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala
itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena
mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti
Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik
panggilan ibu. “Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?” Sekarang yang
membingungkan justru “Zauji au da’wati” : Isteriku atau da’wahku ?”.
Dia
mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah
dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut
bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya
: “Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa
pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya
cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah”. Dia pergi menerobos
segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih
mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah
beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan
anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal
dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.
Lain
lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya
mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk
da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader
(liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah
kalah oleh penyakit “syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh
harta dan keluarga” (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : “Meskipun terjadi
hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah”. Pada giliran
berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang.
“Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin
kutinggalkan?”. Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan
menangis-nangis lagi. Saat tugas da’wah besok apapun yang terjadi, mau hujan,
badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika
harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir
lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh
tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan
memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun
musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah
pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri
oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka
menemukan sesuatu yang lain, “in lam takun bihim falan takuna bighoirihim”.
Di Titik Lemah Ujian Datang
Akhirnya
dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini
ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : “Tanyakan pada mereka
tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di
(tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah
pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang.
Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka”. Secara langsung tema ayat
tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain
yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.
Waktu
ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak
orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari
untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih
sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau
ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah
tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan
itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang
secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang
roda ekonominya sedang dibawah.
Seorang
masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak
rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya
dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya
diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. “Ternyata kayanya kaya begitu
saja”, ujar Syaikh tersebut.
Ternyata
kita temukan kuncinya, “Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan
mereka”. Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah.
Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan
datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam
da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka
bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila
diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju
membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak
kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan,
kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian
dan cobaan sepanjang hari.
Iman dan Pengendalian Kesadaran
Ma’iyatullah
Aqidah
kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak
ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan
menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri
dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang
tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya,
aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai
segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir
perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya
batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau
keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari
kekayaan ALLAH ?
Karena
itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang
gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah.
Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua
kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak
tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan “Seandainya para
raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan
majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang”.
Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan
diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling
menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai
saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan
dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.
Ayat
ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang
lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan,
kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan
berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati
dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa
ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya
tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum
tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat
dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.
Kalau
saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib)
ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber
Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh
Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri
mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan
hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu,
waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab
dan penyesalan.
Seni Membuat Alasan
Perlu
kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan
tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi
diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya,
sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu.
Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. “Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik
dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni
daku karena ketidaktahuan mereka”, demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita
dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? “Alangkah bodoh kamu, percaya kepada
sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan
itu”, demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai’Llah.
Diantara
nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga
aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah
diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan
menjadi tua sebagai seniman maaf, “Afwan ya Akhi”.
Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi
Mereka Karunia Besar
Kelengkapan
Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi
eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan
kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa
kepada Islam dan da’wah. “Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka
kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai
sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi
kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur”
(Qs. 49;17).
ALLAH
telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar.
Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang
lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna –
menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : “Nah, rasain !”
Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah
kebahagiaan ini?.
Saling
mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih
doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara
yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya,
seraya berkata : “Untukmu pun hak seperti itu”, seperti pesan Rasulullah SAW.
Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada
mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata
iman dan cinta fi’Llah.
Ya
ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta
kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.
Rafting to Ukhuwah |
ISLAM Itu INDAH... ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar